Para guru di sekolah, para dosen di kampus, para pengkotbah, penceramah sering lupa sesuatu yang sesungguhnya paling pokok. Yaitu bahwa sehebat apa pun yang mereka katakan, selalu masih kalah kuat dengan perbuatan. Kata-kata inspiratif, atau provokatif bisa menggerakkan orang. Tetapi perbuatan aktif tidak hanya dapat menggerakkan, tetapi juga menciptakan gerakan baru. Baik itu gerakan pro maupun gerakan kontra. Suatu perbuatan yang tidak memiliki response, positif atau negatif, perbuatan tersebut sesungguhnya kosong dan ompong belaka.
Itulah sebabnya Yesus menggerakkan banyak orang, baik yang mendukung maupun yang menolak. Ia ditolak oleh orang-orang Yahudi justru karena Yesus melakukan banyak perbuatan. Oleh sebab itu, kesimpulannya mudah. Jika kita tak pernah mengalami dukungan atau penolakan, berarti kita belum pernah sungguh-sungguh melakukan sesuatu perbuatan yang berarti.
Di keluarga: ilmu makin maju, jaman makin edan, tetapi kehidupan keluarga makin merana. Salah satu sebabnya adalah tiada tempat buat perbuatan. Banyak orangtua jaman sekarang punya keyakinan bahwa anak-anak membutuhkan mainan, karena itu harus disediakan banyak barang mainan. Celakanya lagi, secara tidak sadar orang-orang macam ini mengira bahwa makin mahal barang mainan dianggap makin bernilai buat si anak.
Padahal yang diperlukan anak bukanlah barang mainan, melainkan orang yang dapat (baca: sedia) melakukan perbuatan: bermain dengannya. Anak akan berkembang dan belajar banyak nilai dari perbuatan orang, bukan dari barang buatan orang. Berapa di antara kita yang masih merasa bernilai bermain dengan anak-anak kita? Dan bukan menggantinya dengan barang mainan yang kita belikan.
Di sekolah: makin sedikit ruang untuk melakukan sesuatu perbuatan di lingkungan pendidikan sekolah. Semua dipermudah, tetapi nilai perbuatan juga makin rendah. Menulis di papan tulis untuk teman-temannya, tak perlu lagi, cukup difotokopi. Kerjabakti membersihkan sekolah tak perlu, cukup dengan cleaning service. Melakukan sesuatu untuk orang lain makin dianggap tak perlu, bisa diganti dengan uang. Tetapi lihat saja hasil pendidikan sekolah semacam ini: 'jadi orang' pun tak punya ide untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.
Di kantor: yang sering dinilai positif adalah orang yang pinter omong, bukan yang banyak melakukan perbuatan. Sebab berbuat sesuatu di kantor lebih susah dilakukan daripada di tengah masyarakat. Karena itu kalau di kantor seseorang dapat melakukan perbuatan, berarti ia luarbiasa. Dan justru karena itu, buat orang lain dapat menjadi ancaman serius. Jika ini yang terjadi, maka daripada meniru lebih gampang menyingkirkannya. Daripada menjadi ancaman, lebih baik ditekan atau ditiadakan.
Akibatnya banyak orang di kantor hanya menjadi pegawai loyal. Setia menjalankan tugas, tetapi tidak mungkin berkreasi, apalagi aktualisasi diri. Penuh dedikasi, tetapi sedikit aksi.
Di lingkungan agama: kita lihat sendiri, di mana-mana penuh kata-kata dan cita-cita suci serta mulia. Tetapi kalo ditanya apa yang telah dilakukannya untuk dunia?
Kalo ada sesuatu yang dilakukan, itu pun biasanya masih amat terbatas dilakukan untuk orang-orang seagama. Kenapa banyak kotbah "tak bicara " atau kurang mengena?
Karena kurang mendunia, alias tak berangkat dari pengalaman aksi. Bahkan banyak pula yang 'terlalu' suci, tetapi sedikit pun tidak memberi inspirasi untuk aksi. Banyak perkataan, tanpa didukung perbuatan. Tes-nya gampang aja. Kalau kita dapat menjawab pertanyaan: so what?
Lalu konkretnya apa?
Itu baru kotbah yang mutu. Bukankah di lingkungan agama kita terlalu banyak orang yang hobi dalam ngrasani orang, menyebar isu, meskipun ia tak pernah melakukan sesuatu untuk sesama manusia.
Kalau ada orang berbuat sesuatu, langsung dirasani, atau diteror, padahal dirinya tak melakukan apa pun untuk orang lain. Kecuali ke geraja tiap minggu, apa ada sesuatu yang kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita?
Pada hemat saya, seluruh penghayatan agama, nonsense belaka jika tidak sampai pada perbuatan nyata buat orang-orang lain di sekitar kita. Kata-kata, yang suci dan biblis sekali pun, tak bermakna jika tak didukung oleh perbuatan nyata. Bukan yang "berkata Tuhan-Tuhan" melainkan yang "melakukan kehendakNya" itulah yang berkenan kepadaNya. Bukan orasi, tetapi aksi, itulah yang lebih bernilai dalam hidup kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar