Rabu, 15 September 2010
Bagaimana saya tahu mana agama yang benar?
Tidak diragukan bahwa banyaknya agama yang berbeda dalam dunia menyulitkan untuk mengetahui mana yang benar. Pertama-tama, mari kita memikirkan beberapa pemikiran mengenai topik ini secara umum dan kemudian melihat bagaimana seseorang dapat mendekati topik itu dengan cara yang benar-benar dapat mencapai kesimpulan yang benar mengenai Allah. Tantangan jawaban yang berbeda terhadap isu tertentu tidak terbatas hanya pada topik agama. Misalnya, 100 siswa matematika diberikan pertanyaan yang sulit untuk mereka selesaikan, dan kemungkinan banyak yang akan memberi jawaban yang salah. Namun apakah ini berarti tidak ada jawaban yang benar? Bukan demikian. Mereka yang menjawab salah hanya perlu diperlihatkan kesalahannya dan mengetahui teknik yang diperlukan untuk mendapat jawaban yang benar.
Bagaimana kita mendapatkan kebenaran mengenai Allah? Kita menggunakan metodologi yang sistematis yang dirancang untuk memisahkan kebenaran dari kesalahan dengan menggunakan berbagai tes kebenaran, di mana hasil akhirnya adalah sekumpulan kesimpulan yang benar. Dapatkah Anda membayangkan hasil akhir yang akan dicapai oleh seorang ilmuwan kalau dia pergi ke lab dan mulai mencampur berbagai zat tanpa irama atau alasan? Atau kalau seorang dokter mulai mengobati seorang pasien dengan obat secara acak sambil berharap dia akan sembuh? Ilmuwan maupun dokter tidak menggunakan pendekatan semacam ini; sebaliknya mereka menggunakan metode yang sistematis, yang metodis, logis, dapat dibuktikan, dan terbukti menghasilkan hasil akhir yang benar.
Kalau demikian, mengapa teologia – kajian mengenai Allah – harus berbeda? Mengapa percaya bahwa teologia dapat didekati secara sembarangan dan secara tidak disiplin dan pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang benar? Sayangnya, ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh banyak orang, dan inilah salah satu alasan mengapa ada begitu banyak agama. Setelah mengatakan itu, kita kembali kepada pertanyaan bagaimana kita dapat mencapai kesimpulan yang benar mengenai Allah. Pendekatan sistematis bagaimana yang harus digunakan? Pertama-tama, kita perlu menentukan kerangka kerja untuk menguji berbagai klaim mengenai kebenaran, dan kemudian kita membutuhkan peta yang dapat diikuti untuk mencapai kesimpulan yang benar. Berikut ini adalah sebuah kerangka kerja yang baik untuk digunakan:
1. Konsistensi logis - klaim dari suatu sistem kepercayaan harus masuk akal dan tidak bertentangan satu dengan lainnya dengan cara apa pun. Misalnya, tujuan akhir dari Budhisme adalah menghapuskan semua keinginan. Namun untuk dapat menghapuskan keinginan orang harus menginginkan, ini bertentangan dan merupakan prinsip yang tidak logis.
2. Kecukupan empiris - apakah ada bukti yang mendukung sistem kepercayaan itu (baik bukti rasionil, bukti dari luar, dll)? Jelas diperlukan bukti untuk klaim penting yang dibuat supaya apa yang dikatakan dapat diverifikasikan. Misalnya, Mormon mengajarkan bahwa Yesus tinggal di Amerika Utara. Namun sama sekali tidak ada bukti, baik arkeologis, maupun lainnya, yang mendukung klaim itu.
3. Relevansi eksistensial – sistem kepercayaan itu harus menuruti realita sebagaimana yang kita kenal, dan harus menghasilkan perbedaan dalam hidup penganutnya. Deisme, misalnya, mengklaim bahwa Allah melemparkan dunia yang berputar ke dalam alam raya dan tidak berinteraksi dengan yang berdiam di dalamnya. Bagaimana dampak kepercayaan semacam itu bagi seseorang dalam kehidupan sehari-hari? Singkatnya, tidak ada.
Kerangka kerja di atas, ketika diterapkan pada agama, akan mengarahkan seseorang pada pandangan yang benar akan Allah dan akan menjawab empat pertanyaan besar mengenai hidup:
1. Asal mula - dari mana kita berasal?
2. Etika – bagaimana seharusnya kita hidup?
3. Makna - apa tujuan hidup?
4. Nasib - ke mana arah umat manusia?
Namun bagaimana orang dapat menerapkan kerangka kerja ini dalam pencarian akan Allah? Pendekatan tanya/jawab langkah demi langkah adalah cara terbaik untuk digunakan. Menyaring daftar pertanyaan yang mungkin akan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apakah kebenaran mutlak itu ada?
2. Apakah rasio dan agama bisa dicampurkan?
3. Apakah Allah ada?
4. Dapatkah Allah dikenal?
5. Apakah Yesus itu Allah?
6. Apakah Allah memperdulikan saya?
Pertama-tama kita perlu mengetahui apakah kebenaran mutlak itu ada. Kalau tidak ada, maka kita tidak bisa mengetahui apa pun secara pasti (rohani atau bukan), dan kita akan menjadi seorang agnostik, tidak yakin apakah kita bisa betul-betul mengetahui sesuatu, atau seorang pluralis, menerima setiap posisi karena kita tidak pasti mana, kalaupun ada, yang benar.
Kebenaran mutlak didefinisikan sebagai yang sesuai dengan realita, yang sesuai dengan obyeknya, menyatakan sebagaimana adanya. Beberapa orang mengatakan bahwa tidak ada yang namanya kebenaran mutlak, namun bersikap seperti ini menghancurkan diri sendiri. Misalnya, kaum relativis mengatakan, "Semua kebenaran itu relatif," namun orang harus bertanya: apakah pernyataan itu benar secara mutlak? Kalau begitu, berarti kebenaran mutlak ada; kalau tidak, kenapa pikirkan? Postmodernisme tidak menerima kebenaran apa pun, namun postmodernisme menerima paling sedikit satu kebenaran mutlak: postmodernisme adalah benar adanya. Pada akhirnya, kebenaran mutlak tak dapat disangkali
Lebih lanjut lagi, kebenaran mutlak pada dasarnya bersifat sempit dan menolak yang berlawanan. Dua tambah dua sama dengan empat, tidak ada jawaban lain yang mungkin. Butir ini penting adanya saat membandingkan sistem kepercayaan dan pandang dunia yang berbeda. Kalau suatu sistem kepercayaan memiliki komponen yang terbukti kebenarannya, maka sistem kepercayaan lain yang memiliki klaim yang berlawanan pastilah salah. Lagi pula, kita harus ingat bahwa kebenaran yang mutlak tidak dipengaruhi oleh ketulusan dan keinginan. Tidak peduli berapa tulusnya seseorang dalam percaya kepada dusta, itu tetap dusta. Tidak ada keinginan dalam dunia yang dapat membenarkan apa yang salah.
Jawaban dari pertanyaan pertama adalah kebenaran mutlak itu ada. Karena itu, agnostisme, postmodernisme, relativisme and skeptisime semuanya adalah posisi yang salah.
Hal ini membawa kita kepada pertanyaan berikutnya mengenai apakah akal/logika dapat digunakan dalam soal agama. Ada yang mengatakan tidak mungkin, namun – mengapa tidak? Yang benar adalah, logika itu vital ketika menganalisa klaim rohani karena logika membantu kita memahami mengapa ada klaim yang harus ditolak sementara yang lainnya diterima. Logika sangat penting dalam membongkar pluralisme (yang mengatakan bahwa semua klaim kebenaran, bahkan yang saling bertentangan pun, adalah benar dan sah).
Misalnya, Islam dan Yudaisme mengklaim bahwa Yesus bukan Allah, sementara keKristenan mengklaim Dia adalah Allah. Salah satu hukum dasar dari logika adalah hukum tidak-bertentangan, yang mengatakan bahwa sesuatu tidak bisa merupakan "A" dan "bukan-A" pada saat bersamaan dan dalam pengertian yang sama. Menerapkan hukum ini kepada klaim Yudaisme, Islam dan keKristenan berarti bahwa salah satunya benar sementara yang dua salah. Yesus tidak bisa merupakan Allah dan sekaligus bukan Allah. Digunakan secara patut, logika adalah senjata yang ampuh untuk melawan pluralisme karena menunjukkan bahwa klaim yang bertentangan terhadap kebenaran tidak mungkin sama benarnya. Pemahaman ini merobohkan cara berpikir "benar untuk kamu namun tidak benar untuk saya."
Logika juga membuang analogi “semua jalan menuju ke Roma” yang digunakan oleh para penganut pluralis. Logika menunjukkan bahwa setiap sistem kepercayaan memiliki tanda-tanda masing-masing yang menunjuk pada lokasi yang pada akhirnya berbeda. Logika memperlihatkan bahwa ilustrasi yang tepat untuk pencarian kebenaran rohani adalah seperti jalan yang rumit - satu jalur menuntun sampai kepada kebenaran, sementara semua lainnya buntu. Semua kepercayaan memiliki kesamaan di permukaan, namun dalam inti pengajaran mereka amat berbeda.
Kesimpulannya adalah bahwa Anda dapat menggunakan akal dan logika dalam urusan agama. Karena itu, pluralisme (kepercayaan bahwa semua klaim kebenaran sama benar dan sahnya) dibuang karena tidak logis dan bertentangan dengan kepercayaan bahwa klaim kebenaran yang bertentangan bisa sama benarnya.
Berikutnya pertanyaan yang besar: apakah Allah ada? Kaum ateis dan naturalis (yang tidak menerima apa pun selain dunia fisik mengatakan “tidak.” Sekalipun sepanjang sejarah pertanyaan ini sudah banyak ditulis dan diperdebatkan, tidaklah sulit untuk menjawabnya. Untuk memberinya bobot yang pantas, Anda pertama-tama harus menanyakan pertanyaan ini: Mengapa kita memiliki sesuatu dan bukannya sama sekali tidak ada? Dengan kata lain, bagaimana Anda dan semua yang lainnya bisa ada? Dukungan untuk Allah dapat disajikan dengan amat sederhana:
Ada sesuatu.
Sesuatu tidak berasal dari yang tidak ada.
Karena itu Pribadi yang kekal itu ada.
Anda tidak dapat menyangkal bahwa Anda itu ada karena Anda harus ada baru dapat menyangkali keberadaan Anda (yang menghancurkan diri sendiri), jadi premis pertama di atas benar adanya. Tidak ada orang yang percaya bahwa Anda bisa mendapatkan sesuatu dari yang tidak ada (yaitu, “tidak ada” bisa menghasilkan alam raya), jadi premis yang kedua benar adanya. Karena itu, premis yang ketiga pasti benar – ada Pribadi yang kekal yang bertanggung jawab untuk segala yang ada.
Ini adalah posisi yang tidak akan disangkali oleh orang ateis yang berpikir; mereka hanya mengklaim bahwa alam raya adalah sang pribadi kekal itu. Namun demikian, masalah dengan kedudukan itu adalah semua bukti ilmiah menunjuk pada fakta bahwa alam raya memiliki awal (“letusan besar”). Dan segala sesuatu yang memiliki awal harus memiliki penyebab; oleh karena itu, alam raya memiliki penyebab dan tidak kekal. Karena kedua sumber kekekalan adalah alam semesta yang kekal (terbukti tidak benar) atau Pencipta yang kekal, maka kesimpulan logis adalah Allah itu ada. Menjawab keberadaan Allah secara pasti menghapuskan ateisme sebagai sistem kepercayaan yang sah.
Kesimpulan ini tidak berbicara apa-apa mengenai Allah seperti apa yang ada, namun yang mengagumkan adalah hal ini menyapu satu hal – kesimpulan ini menyingkirkan semua agama panteistik. Semua pandang dunia panteistik mengatakan bahwa alam semesta adalah Allah dan bersifat kekal. Dan pernyataan ini salah adanya. Jadi Hinduisme, Budhisme, Jainisme dan semua agama panteistik tersingkir dari sistem kepercayaan yang sah.
Lebih lanjut lagi, kita mempelajari beberapa hal yang menarik mengenai Allah yang menciptakan alam semesta ini. Dia:
• Bersifat supranatural (Dia berada di luar ciptaan-Nya)
• Dia sangat berkuasa (sanggup menciptakan semua yang diketahui)
• Kekal (ada pada diriNya sendiri, karena Dia berada di luar waktu dan ruang)
• Mahahadir (Dia menciptakan ruang dan tidak dibatasi oleh ruang)
• Tanpa batas waktu dan tidak berubah (Dia menciptakan waktu)
• Tidak bersifat materi (karena Dia melampaui ruang)
• Pribadi (yang tidak bersifat pribadi tidak dapat menciptakan kepribadian).
• Perlu (segala sesuatu bergantung kepadaNya)
• Tidak terbatas dan tunggal (tidak bisa ada dua yang tidak terbatas)
• Beraneka ragam, namun bersatu (sebagaimana alam menunjukkan keanekaragaman)
• Berakal budi (sangguo menciptakan segalanya)
• Moral (tidak ada hukum moral yang bisa ada tanpa pemberi hukum)
• Peduli (kalau tidak, tidak akan ada hukum moral yang diberikan)
Pribadi ini memperlihatkan ciri-ciri yang amat serupa dengan Allah Yudaisme, Islam dan keKristenan, yang menariknya adalah satu-satunya iman inti yang masih tesisa setelah ateisme dan panteisme dihapuskan. Perhatikan bahwa salah satu pertanyaan besar dalam hidup (asal mula) sekarang terjawab: kita tahu dari mana asal usul kita.
Hal ini membawa kita kepada pertanyaan berikut: dapatkah kita mengenal Allah? Pada titik ini, perlunya agama digantikan oleh sesuatu yang lebih penting – perlunya pewahyuan. Agar umat manusia dapat mengenal Allah ini dengan baik, tergantung pada Allah untuk mewahyukan diri-Nya kepada ciptaan-Nya. Yudaisme, Islam dan keKristenan semua mengklaim memiliki kitab yang adalah wahyu Allah kepada manusia, namun pertanyaannya adalah yang mana (kalau ada) yang benar? Tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan kecil, ada dua pertentangan yang utama, yaitu 1) Alkitab Perjanjian Baru 2) pribadi Yesus Kristus. Islam dan Yudaisme keduanya mengklaim bahwa Alkitab Perjanjian Baru tidak benar dalam klaimnya, dan keduanya menolak bahwa Yesus adalah Allah yang berinkarnasi, sementara keKristenan menerima keduanya sebagai benar.
Tidak ada kepercayaan di atas bumi ini yang dapat mengimbangi segunung bukti yang mendukung keKristenan. Mulai dari besarnya jumlah naskah-naskah kuno, mulai dari yang paling awal yaitu dokumen yang tertanggalkan pada saat para saksi mata masih hidup (beberapa hanya 15 tahun setelah kematian Kristus), sampai pada banyaknya kisah (sembilan penulis untuk 27 kitab Perjanjian Baru), sampai pada bukti arkeologis - tidak ada satupun yang bertentangan dengan satu klaim pun dari Perjanjian Baru - sampai pada fakta bahwa para rasul sampai mati pun mengklaim bahwa mereka telah melihat apa yang dilakukan oleh Yesus dan bahwa Dia bangkit kembali dari kematian, keKristenan menentukan standar dalam penyediaan bukti untuk mendukung klaimnya. Otentisitas historis Perjanjian Baru - bahwa PB menyajikan kisah yang sejati mengenai peristiwa yang sebenarnya sebagaimana terjadinya - adalah satu-satunya kesimpulan yang tepat begitu semua bukti sudah ditelaah.
Mengenai Yesus, orang mendapatkan hal yang amat menarik mengenai Dia - Dia mengklaim sebagai Allah dalam wujud manusia. Kata-kata Yesus sendiri (e.g. “Sebelum Abraham dilahirkan Aku sudah ada), perbuatan-Nya (e.g. mengampuni dosa, menerima penyembahan), hidup-Nya yang tanpa dosa dan penuh mujizat (yang digunakan-Nya untuk membuktikan kebenaran klaim-Nya dibandingkan klaim-klaim yang bertentangan), dan kebangkitan-Nya semua mendukung klaim-Nya bahwa Dia adalah Allah. Penulis Perjanjian Baru menegaskan fakta ini berulang-ulang dalam tulisan mereka.
Kalau Yesus adalah Allah, maka apa yang Dia katakan pastilah benar. Dan kalau Yesus mengatakan bahwa Alkitab tanpa salah dan benar dalam segala yang dikatakan (dan Dia mengatakan demikian), hal ini berarti bahwa Alkitab adalah benar dalam apa yang dikatakan. Sebagaimana yang telah kita pelajari, dua klaim kebenaran yang berlawanan tidak mungkin benar kedua-duanya. Jadi segala sesuatu dalam Qur’an Islam atau tulisan Yudaisme yang bertentangan dengan Alkitab tidak mungkin benar. Kenyataannya, baik Islam maupun Yudaisme gagal karena keduanya mengatakan bahwa Yesus bukan Allah yang berinkarnasi, sementara bukti memperlihatkan bahwa Dia adalah demikian. Dan karena kita betul-betul dapat mengenal Allah (karena Dia telah mengungkapkan diri-Nya dalam firmanNya yang tertulis dan dalam Kristus), segala bentuk agnostisisme dapat ditolak. Akhirnya, pertanyaan besar lainnya mengenai kehidupan terjawab – yaitu mengenai etika – karena Alkitab mengandung instruksi yang jelas mengenai bagaimana umat manusia harus hidup.
Alkitab yang sama memproklamirkan bahwa Allah amat peduli kepada umat manusia dan menghendaki agar semua mengenal Dia dengan intim. Bahkan Dia begitu pedulinya sampai Dia menjadi manusia untuk memperlihatkan kepada ciptaan-Nya bagaimana Dia sebenarnya. Ada banyak orang yang berusaha menjadi Allah, namun hanya adalah satu Allah yang menjadi manusia supaya Dia dapat menyelamatkan mereka yang amat Dia cintai dari keterpisahan kekal dengan-Nya. Fakta ini memperlihatkan relevansi eksistensial keKristenan dan juga menjawab kedua pertanyaan besar terakhir mengenai hidup – makna dan nasib. Setiap orang dirancang oleh Allah dengan tujuan tertentu, dan setiap orang memiliki nasib yang menantikan dia - baik hidup kekal bersama Allah atau terpisah secara kekal dari Allah. Kesimpulan ini (dan bahwa Allah menjadi manusia dalam Kristus) juga menolak Deisme, yang mengatakan bahwa Allah tidak tertarik pada urusan manusia.
Pada akhirnya kita melihat bahwa kebenaran utama mengenai Allah dapat ditemukan dan pandangan yang berbelit-belit berhasil dilalui dengan sukses dengan menguji berbagai klaim kebenaran dan secara sistematis menyingkirkan yang salah sehingga hanya kebenaran yang tersisa. Dengan menggunakan uji konsistensi logis, kecukupan empiris, dan relevansi eksistensial, ditambah dengan menanyakan pertanyaan yang benar, kesimpulan yang benar dan berdasar mengenai agama dan Allah dihasilkan. Setiap orang harus sepakat bahwa satu-satunya alasan untuk mempercayai sesuatu adalah bahwa itu benar adanya – itu saja. Sayangnya, keyakinan sejati adalah soal kehendak, dan berapa banyak pun bukti logis yang disajikan, tetap ada saja yang memilih untuk menyangkal Allah yang ada dan tidak melihat satu-satunya jalan yang sejati untuk berdamai dengan Dia.
Agama yang sejati
Agama dapat didefinisikan sebagai “kepercayaan kepada Tuhan atau penyembahan kepada dewa-dewa yang biasanya dinyatakan melalui perbuatan dan upacara” atau “sistim kepercayaan, ibadah, dll., yang lazimnya mengandung kode etik.” Lebih dari 90% penduduk dunia meganut agama tertentu. Masalahnya adalah adanya begitu banyak agama yang berbeda satu dengan yang lainnya. Apa agama yang benar? Apa agama yang sejati?
Dua unsur yang paling umum dalam agama adalah aturan dan upacara. Ada beberapa agama yang bisa dikata hanya mengandung pelbagai aturan, lakukan ini itu, dan pelbagai larangan yang harus dipatuhi supaya dipandang sebagai penganut agama yang setia, dan oleh karena itu memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan dalam agama tsb. Dua contoh agama yang berdasarkan aturan adalah Islam dan Yudaisme. Islam memiliki lima rukun yang harus dipatuhi. Yudaisme memiliki ratusan perintah dan tradisi yang harus ditaati. Pada tingkatan tertentu, kedua agama ini mengklaim bahwa dengan mematuhi aturan-aturan dalam agama itu seseorang akan dipandang benar oleh Tuhan.
Agama-agama lain lebih berpusat pada upacara dibandingkan pada ketaatan pada aturan-aturan. Dengan mempersembahkan korban ini, melakukan tugas itu, ambil bagian dalam pelayanan ini, menyantap hidangan ini, dll, seseorang akan menjadi benar dengan Tuhan. Contoh yang paling jelas akan agama yang berdasarkan upacara adalah Roma Katolik. Agama Roma Katolik berpendapat bahwa dengan menerima baptisan bayi, dengan ambil bagian dalam Misa, dengan mengakui dosa kepada imam, dengan menaikkan doa kepada orang-orang suci di surga, dengan diminyaki oleh imam sebelum meninggal dunia, dll. dst., Tuhan akan menerima orang tsb. di surga setelah dia meninggal dunia. Agama Budha dan Hindu juga pada dasarnya agama yang berdasarkan upacara, namun dalam tingkat yang lebih rendah juga dapat dianggap sebagai berdasarkan aturan-aturan.
Agama yang sejati bukan berdasarkan aturan atau upacara. Agama yang sejati adalah relasi dengan Tuhan. Dua hal yang diyakini oleh semua agama adalah bahwa manusia telah terpisah dari Tuhan dan perlu diperdamaikan kembali denganNya. Agama palsu berusaha menyelesaikan masalah ini dengan menaati aturan dan upacara-upacara. Agama yang sejati menyelesaikan masalah ini dengan mengakui bahwa hanya Tuhan yang mampu memperbaiki pemisahan ini, dan Tuhan telah memperbaikinya. Agama yang sejati mengakui hal-hal sbb:
• Kita semua telah berdosa dan oleh karena itu terpisah dari Tuhan (Roma 3:23).
• Kalau tidak diperbaiki, hukuman yang adil untuk dosa ini adalah kematian dan terpisah dari Tuhan untuk selama-lamanya (Roma 6:23).
• Tuhan datang kepada kita dalam diri Yesus Kristus dan mati menggantikan kita, menanggung hukuman yang sepatutnya kita tanggung, dan bangkit dari antara orang mati sebagai bukti bahwa kematianNya merupakan pengorbanan yang cukup (Roma 5:8; 1 Korintus 15:3-4; 2 Korintus 5:21).
• Jika kita menerima Yesus sebagai Juruselamat, percaya akan kematianNya sebagai pembayaran penuh untuk dosa-dosa kita, kita diampuni, diselamatkan, ditebus, diperdamaikan, dan dibenarkan oleh Allah (Yohanes 3:16; Roma 10:9-10; Efesus 2:8-9).
Agama yang sejati memang memiliki aturan dan upacara, tapi ada perbedaan yang krusial. Dalam agama yang sejati, aturan dan upacara dilaksanakan dengan rasa syukur untuk keselamatan yang Tuhan telah sediakan, BUKAN untuk memperoleh keselamatan itu. Agama yang sejati, yaitu keKristenan yang Alkitabiah, memiliki peraturan-peraturan yang harus ditaati (jangan membunuh, jangan berzinah, jangan berdusta, dll) dan upacara yang harus dilaksanakan (baptisan dan Perjamuan Kudus). Menaati aturan-aturan dan upacara-upacara ini tidak akan membenarkan orang di hadapan Tuhan. Sebaliknya, aturan-aturan dan upacara-upacara ini adalah HASIL dari relasi dengan Tuhan, oleh anugrah melalui iman di dalam Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Agama yang palsu adalah soal melakukan sesuatu (aturan dan upacara) untuk mendapat perkenanan Tuhan. Agama yang sejati menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan karena itu memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan – dan kemudian melakukan hal-hal yang benar (aturan dan upacara) sebagai pernyataan kasih kepada Tuhan dan keinginan untuk makin dekat kepadaNya.
Monoteisme
Monoteisme berasal dari kata “mono” (tunggal) dan “teisme” (kerpercayaan pada Allah). Khususnya monoteisme adalah kepercayaan pada satu Allah yang sejati yang adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan juga Hakim dari segala makhluk. Monoteisme berbeda dari henoteisme yang adalah kepercayaan pada bermacam allah dengan satu allah yang lebih utama dari semua allah yang lain. Monoteisme juga bertolak belakang dengan politeisme yang adalah kepercayaan pada adanya banyak allah.
Ada banyak argumen yang mendukung monoteisme, termasuk di dalamnya pewahyuan khusus (Alkitab), pewahyuan alam (filosofi), dan juga antropologi sejarah. Berikut ini semuanya akan diuraikan secara amat singkat walaupun penjelasan ini tidak boleh dianggap sebagai penjelasan yang menyeluruh.
Argumen Biblika untuk monoteisme – Ulangan 4:35, “Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia.” Ulangan 6:4, “ Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Maleakhi 2:10a, “Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah satu Allah menciptakan kita?” 1 Korintus 8:6, “ namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” Efesus 4:6, “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” 1 Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Yakobus 2:19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.”
Jelas bahwa bagi banyak orang tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa hanya ada satu Allah karena Alkitab mengatakan demikian. Ini adalah karena tanpa Allah tidak ada cara untuk membuktikan bahwa Alkitab benar-benar adalah FirmanNya! Namun demikian, orang bisa saja mengatakan bahwa karena Alkitab memiliki bukti supranatural yang paling dapat diandalkan yang menguatkan apa yang diajarkan, ini dapat menjadi dasar yang meneguhkan monoteisme. Argumen yang serupa adalah kepercayaan dan pengajaran Yesus Kristus yang membuktikan bahwa Dia adalah Alah (atau paling sedikit Dia diperkenankan Allah) melalui kelahiranNya yang merupakan mujizat, kehidupanNya, dan mujizat kebangkitanNya. Allah tidak dapat berdusta atau ditipu; karena itu apa yang dpercayai dan diajarkan Yesus adalah benar adanya. Karena itu, monoteisme, sebagaimana yang dipercayai dan diajarkan Yesus, adalah benar adanya. Argumen ini mungkin tidak akan berkesan dalam bagi mereka yang tidak mengenal bukti supranatural Alkitab dan Kristus, namun ini merupakan suatu permulaan yang baik bagi mereka yang memahaminya.
Argumen historis untuk monoteisme – Argumen yang berdasarkan popularitas sangat perlu dicurigai, namun adalah menarik melihat betapa monoteisme mempengaruhi agama-agama dunia. Teori yang terkenal mengenai perkembangan agama secara evolusi berasal dari pandangan mengenai realita secara umum, dan anggapan mengenai antropologi evolutionis yang memandang kebudayaan-kebudayaan “primitif” sebagai wakil dari tahapan awal perkembangan agama. Namun ada beberapa masalah dengan teori evolusi semacam ini: (1) Perkembangan yang dilukiskan tidak pernah diamati – bahkan kenyataannya kelihatannya tidak ada peningkatan ke arah monoteisme dari kebudayaan manapun – yang terjadi malah kebalikannya. (2) Metode antropologi mendefinisikan “primitif” dengan menyamakannya dengan perkembangan tehnologi, namun ini bukanlah kriteria yang memuaskan karena dalam suatu budaya terdapat begitu banyak komponen.
(3) Tahapan-tahapan yang dimaksud sering hilang atau dilangkahi. (4) Akhrnya, kebanyakan budaya politeistik memperlihatkan sisa-sisa monoteisme dari tahap awal perkembangan mereka. Apa yang kita temukan adalah Allah yang monoteistik ini merupakan suatu pribadi, maskulin, tinggal di langit, memiliki pengetahuan dan kuasa yang luar biasa, menciptakan dunia, sumber dari moralitas yang harus kita taati, namun kita langgar dan sebagai akibatnya kita terbuang, namun jalan pendamaian sudah disediakan. Bisa dikata semua agama mengandung variasi dari Allah semacam ini pada dulunya sebelum kemudian “merosot” pada kacaunya politeisme, animisme dan sihir – bukan sebaliknya (Islam adalah kasus yang amat jarang, di mana Islam berbalik 360 derajat kembali kepada kepercayaan monoteistik). Namun sekalipun dengan pergerakan seperti ini, politeisme sering kali merupakan monoteistik atau henoteistik fungsional. Jarang ada agama politeistik yang tidak memiliki salah satu dari dewa dewi sebagai allah yang berkuasa di atas allah-allah lainnya, di mana allah-allah lainnya ini bertindak hanya sebagai pengantara.
Argumen filosofis/teologis untuk Monoteisme – Ada banyak argumen filosofis mengenai ketidakmungkinan untuk adanya lebih dari satu Allah. Banyak dari argumen ini bergantung pada posisi metafisik seseorang dalam soal natur dari realita. Dalam artikel yang begitu pendek ini adalah tidak mungkin untuk menjabarkan semua pandangan dasar metafisik ini dan kemudian memperlihatkan pandangan mereka mengenai monoteisme, tapi percayalah bahwa ada dasar-dasar filosofis dan teologis dari kebenaran-kebenaran ini yang sudah beribu tahun lamanya (dan kebanyakan tidak perlu dijelaskan lagi). Secara singkat, berikut ini adalah tiga argumen yang seseorang dapat pilih untuk diteliti (mulai dari yang kurang sulit):
1. Kalau ada lebih dari satu Allah, maka alam semesta akan kacau karena ada bermacam pencipta dan penguasa, tapi kenyataannya alam semesta tidak kacau; karena itu hanya ada satu Allah.
2. Karena Allah adalah makhluk yang sempurna, maka tidak mungkin ada Allah yang kedua karena keduanya pasti akan ada perbedaan, dan untuk berbeda dari yang sempurna berarti kurang sempurna dan bukan Allah.
3. Karena Allah ada secara tidak terbatas, maka Allah tidak bisa terbagi-bagi (karena bagian tidak dapat dijumlahkan untuk menjadi tidak terbatas). Kalau keberadaan Allah bukan hanya merupakan bagian dari diriNya (sebagaimana lazimnya bagi segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada), maka Allah haruslah memiliki memiliki keberadaan yang tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin ada dua makhluk yang tidak terbatas karena yang satu haruslah berbeda dari yang lainnya, dan berbeda dari keberadaan yang tidak terbatas berarti tidak ada sama sekali.
Orang mungkin bisa berargumen bahwa banyak argumen ini tidak menyingkirkan “allah-allah” tingkat yang lebih rendah, dan itu bisa saja diterima. Walaupun kita tahu bahwa ini tidaklah benar secara Alkitabiah, secara teori sama sekali tidak ada salahnya. Dengan kata lain, Allah bisa saja mencipta “allah-allah” tingkat lebih rendah, namun kenyataannya Dia tidak melakukan hal itu. Kalau Dia melakukannya, bukan saja “allah-allah” ini merupakan makhluk ciptaan yang terbatas, mungkin sangat mirip dengan para malaikat (bdk. Mazmur 82). Hal ini tidak akan merusak monoteisme yang tidak pernah mengatakan bahwa tidak ada makhluk rohani lainnya – hanya saja tidak ada Allah lainnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar